Alasan
Penghapusan Pidana
Dalam
hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk
tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau terdakwa yang diajukan
ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana.Alasan-alasan tersebut
dinamakan alasan penghapus pidana.
Alasan
penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim.
Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi
perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim menempatkan
wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakah telah terdapat
keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.
Alasan-alasan
penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang
melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak
dipidana.Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan penuntutan,
alasan penghapus pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat
melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya
ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang
memaafkan pembuat.
Jadi
dalam hal ini hak melakukan penuntutan dari Jaksa tetap ada, tidak hilang,
namun terdakwanya yang tidak dijatuhi pidana oleh hakim. Dengan kata lain
undang-undang tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan tersangka
pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan dalam hal adanya alasan penghapus
pidana. Oleh karena Hakimlah yang menentukan apakah alasan penghapus pidana itu
dapat diterapkan kepada tersangka pelaku tindak pidana melalui
vonisnya.Sedangkan dalam alasan penghapus penuntutan, undang-undang melarang
sejak awal Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan/menuntut tersangka pelaku
tindak pidana ke sidang pengadilan.Dalam hal ini tidak diperlukan adanya
pembuktian tentang kesalahan pelaku atau tentang terjadinya perbuatan pidana
tersebut (Hakim tidak perlu memeriksa tentang pokok perkaranya).Oleh karena
dalam putusan bebas atau putusan lepas, pokok perkaranya sudah diperiksa oleh
hakim, maka putusan itu tunduk pada ketentuan Pasal 76 KUHP.
Meskipun
KUHP yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan
tetapi KUHP sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang alasan
penghapus pidana tersebut. Pengertiannya hanya dapat ditelusuri melalui sejarah
pembentukan KUHP (WvS Belanda).
Dasar
atau alasan penghapusan pidana secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Dalam
beberapa literatur hukum pidana, dapat dilihat tentang pengertian dari alasan
pembenar dan alasan pemaaf serta perbedaanya, salah satunya dalam buku Roeslan
Saleh (1983:125) bahwa :
Apabila
tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki
rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat
melawan hukumnya perbuatan, maka dikatakanlah hal-hal tersebut sebagai
alasan-alasan pembenar.Perbuatan yang pada umumnya dipandang sebagai perbuatan
yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu dipandang sebagai perbuatan yang
dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru.
Sebaliknya
apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang
mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela,
tidak sepatutnya dia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan dia tidak
sepantasnya dicela itu disebut sebagai hal-hal yang dapat memaafkannya.Juga
dipendeki dengan alasan-alasan pemaaf.
Alasan
penghapus pidana ini dapat digunakan untuk menghapuskan pidana bagi
pelaku/pembuat (orangnya sebagai subjek), dan dapat digunakan untuk
menghapuskan pidana dari suatu perbuatan/tingkah laku (sebagi objeknya).Dalam
hal inilah alasan penghapus pidana itu dapat dibedakan antara, tidak dapat
dipidananya pelaku/pembuat dengan tidak dapat dipidananya perbuatan/tindakan.
Dalam
ajaran alasan penghapusan pidana, terdapat tiga asas yang sangat penting (J.E.
Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 57), yaitu :
1.
Asas Subsidiaritas;
Ada
benturan antara kepentingan hukum dengan kepentingan hukum, kepentingan hukum
dan kewajiban huku, kewajiban hukum dan kewajiban hukum.
2.
Asas Proporsionalitas;
Ada
keseimbangan antara kepentingan hukum yang dibela atau kewajiban hukum yang
dilakukan.
3.
Asas “culpa in causa”.
Pertanggungjawaban
pidana bagi orang yang sejak semula mengambil risiko bahwa dia akan melakukan
perbuatan pidana.1.
1.
Jenis-jenis alasan pembenar
Alasan
penghapus pidana yang termasuk alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah
:
1.
Keadaan darurat, diatur dala Pasal 48 KUHP;
Seseorang
dikatakan berada dalam keadaan darurat (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007
: 60) “apabila seseorang dihadapkan pada suatu dilema untuk memilih antara
melakukan delik atau merusak kepentingan yang lebih besar”.
Dalam
keadaan darurat pelaku suatu tindak pidana terdorong oleh suatu paksaan dari
luar, paksaan tersebut yang menyebabkan pelaku dihadapkan pada tiga keadaan
darurat, yaitu Perbenturan antara dua kepentingan hukum. Dalam hal ini pelaku
harus melakukan suatu perbuatan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu,
namun pada saat yang sama melanggar kepentingan hukum yang lain, begitu pula
sebaliknya Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Dalam hal
ini pelaku dihadapkan pada keadaan apakah harus melindungi kepentingan hukum
atau melaksanakan kewajiban hukum Perbenturan antara kewajiban hukum dan
kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan kewajiban hukum tertentu,
namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum yang lain, begitu
pula sebaliknya.
Dalam
keadaan darurat tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan hanya dibenarkan
jika (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 61) ;
1.
tidak ada jalan lain;
2.
kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih
tinggi dari pada kepentingan yang dikorbankan.
Contohnya
; seseorang terjun ke dalam sungai untuk menolong seorang anak kecil yang
terhanyut, sementara di sungai tersebut terdapat tulisan dilarang berenang.
2.
Pembelaan terpaksa, diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP;
Menurut
Pasal 49 ayat (1) disyaratkan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai pembelaan
terpaksa (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 55), yaitu :
1.
Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga,
kehormatan, kesusilaan atau harta benda;
2.
Serangan itu bersifat melawan hukum;
3.
Pembelaan merupakan keharusan;
4.
Cara pembelaan adalah patut.
3.
Melaksanakan ketentuan undang-undang, diatur dalam Pasal 50 KUHP;
Dalam
hal ini, terdapat hal dimana ada perbenturan antara kewajiban hukum dengan
kewajiban hukum lainnya, artinya bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya,
seseorang harus melanggar kewajiban hukum lainnya.Dalam melaksanakan ketentuan
UU tersebut, kewajiban yang terbesar yang harus diutamakan.
Contohnya;
seorang juru sita yang mengosongkan sebuah rumah dengan menaruh isi rumah
dijalan, dimana pada dasarnya menyimpan prabot di jalan adalah dilarang, namun
karena ketentuan dari pengadilan atau putusan pengadilan, sehingga perbuatannya
tersebut tidak dapa dipidana.
4.
Menjalankan perintah jabatan yang sah, diatur dalam Pasal 51 KUHP.
2. Jenis-jenis
alasan pemaaf
Alasan
penghapus pidana yang termasuk alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP adalah :
1.
Tidak mampu bertanggungjawab, diatur dalam Pasal 44 KUHP;
Dalam
Pasal 44 KUHP, membedakan pertanggungjawaban dalam dua kategori yaitu cacat
dalam pertumbuhan dan gangguan penyakit kejiwaan.
Yang
dimaksud gangguan adalah gangguan sejak lahir atau sejak remaja tumbuh dengan
normal namun dikemudian hari muncul kelainan jiwa.
Pada
dasarnya cacat atau gangguan penyakit muncul pada saat perbuatan atau tindak
pidana, dan ketika perbuatan itu dilakukan ada hubungan antara gangguan jiwanya
dengan perbuatannya
2.
Daya paksa, diatur dalam Pasal 48 KUHP;
Dalam
memori penjelasan Pasal 48 KUHP (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 61),
daya paksa adalah “setiap daya, setiap dorongan, atau setiap paksaan yang tidak
dapat dilawan”.
Contoh
: sebuah kapal tenggelam, ada dua penumpang yang berpegang pada papan yang
sama, dimana papan tersebut hanya kuat menahan 1 orang. Karena takut akan mati
tenggelam, maka salah seorang mendorong yang lainnya.
Titik
tolak dari daya paksa adalah adanya keadaan-keadaan yang eksepsional yang
secara mendadak menyerang pembuat atau pelaku, bukan ketegangan psikis,
melainkan keharusan melakukan perbuatan pidana untuk mencapai tujuan yang adil.
Dalam
daya paksa ini, ada perbenturan antara kepentigan hukum satu dengan kepentingan
hukum lain, dimana kepentingan yang dilindungi harus mempunyai nilai kebih
tinggi daripada kepentingan hukum yang diabaikan.
3.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP.
Dalam
pembelaan terpaksa, ada dua hal yang harus diperhatikan (J.E. Sahetapy dan
Agustinus Pohan, 2007 : 59). Yaitu :
·
Harus ada situasi pembelaan terpaksa, yang berarti suatu situasi
dimana pembelaan raga, kehormatan kesusilaan, atau harta benda terhadap
serangan seketika bersifat melawan hukum menjadi keharusan.